Hari
ini gue sampe kampus (mungkin dimata orang-orang) kepagian lagi, pukul
10.30 gue udah sampe, padahal kelas baru mulai pukul 13.00, akhirnya gue
nunggu di Masjid Al-Royyan sekalian solat Jumat disana. Tapi seperti
yang gue pelajarin di akhir artikel "Refleksi Krisis Gentle-isasi",
justru gue jadi ngerasa lebih siap buat ikut kuliah hari ini. Ada juga
kutipan yang sampe sekarang masih gue inget dengan baik terpampang di
gerbang masuk gedung SMP Negeri 1 Jakarta (gini-gini gue pernah SMP ya):
Lebih baik menunggu satu jam daripada terlambat satu menit
Dan
emang bener. Apalagi kalo lo buat janji sama orang, terutama relasi
bisnis. Mending dateng beberapa menit sebelum waktu perjanjian deh
daripada harus rushing with time karena hampir telat. Hargai waktu yang
ada, karena waktu gak akan bisa terulang lagi.
Setelah
kuliah dan briefing UKM dan solat Ashar di kampus, rencana gue
selanjutnya ya pasti balik dong. Di Jembatan Gantung ada bis yang mogok,
jadi mau gak mau gue harus naik dulu bis ke arah Kalideres, turun di
shelter Dispenda-Samsat Barat, baru lanjut ke arah Harmoni. Sedikit
info, shelter Dispenda-Samsat Barat itu cuma satu shelter setelah
Jembatan Gantung, jadi gak jauh-jauh banget.
Di
shelter inilah, gue ketemu seorang Pegawai On-Board/Awak TransJakarta
yang paling patut diteladani oleh seluruh pegawai lainnya. Nama beliau
adalah Pak Yudhistira. Gue dapet namanya juga setelah akhirnya
ngeberaniin nanya waktu sampe di shelter Harmoni, biarpun gak dapet nama
lengkapnya, tapi di 'interview' singkat itu, dia masih nunjukkin
kepribadiannya yang ramah dan bersahabat. Kurang lebih kayak gini
'interview' gue dan Pak Yudhistira:
Gue: *melangkah keluar dari bis* "Maaf, dengan bapak siapa ini?"
Pak Yudhistira: "Pak Yudhistira, ada apa ya?"
Gue: "Oh gapapa, Pak. Cuma senang sama kinerja bapak. Makasih banyak, Pak."
Pak Yudhistira: "Dikira kenapa, fans toh hahaha iya hati-hati."
Bener-bener
ramah. Tapi gak cuma itu, selama perjalanan dari shelter
Dispenda-Samsat Barat sampe Harmoni, beliau ini gak pernah tarik urat
untuk ngerapihin para penumpang didalam bis, dan juga penumpang yang
coba nerobos masuk ketika bis udah terasa penuh. Tenang banget,
bijaksana tapi tegas juga. Baru sekarang gue naik bis yang awak
on-board-nya kayak beliau ini.
Hal
lain yang bikin beliau patut diteladani adalah pribadinya yang begitu
mengayomi para penumpang. Pak Yudhistira ini sepanjang perjalanan pasti
bikin guyonan atau sekedar ajak ngobrol sebagian penumpang, mencoba
mencairkan suasana. Dan setiap berhenti di satu shelter, kalimat yang
selalu beliau ucapkan adalah, "mohon dicek lagi barang bawaannya. Tas,
dompet, handphone pastikan ada, utamakan lansia, ibu hamil atau yang
bawa anak, dan penyandang cacat. Terimakasih". Coba, kapan lagi ada
on-board crew TransJakarta yang kinerja dan dedikasinya sehebat beliau?
Yang
gue liat dari Pak Yudhistira ini adalah dedikasi. Karena ketika lo
mendedikasikan apa yang lo lakuin untuk kepentingan publik, maka itu
udah mencakup elemen-elemen penting lain, seperti; loyalitas,
keikhlasan, kerja keras, semangat dan etos kerja. Hal-hal yang begitu
sulit ditemukan sekarang ini. Dan hanya mereka yang tau bagaimana cara
bersyukur atas pemberian Tuhan, yang melakukan apapun dengan penuh
dedikasi, sesederhana apapun pekerjaan itu.
Sisa
perjalanan gue sampe di rumah dari shelter Dukuh Atas bisa dibilang
biasa aja, gak ada yang bener-bener menarik. Kecuali foto ini, yang
bikin rasa iseng gue muncul:
Bisa
aja sih Si Oom ini. Tapi demi melindungi hak 'berekspresi' orang lain,
maka gue sensor wajah Si Oom. Gak enak kan kalo terang-terangan gue
tampilin wajahnya Don Juan TransJakarta satu ini. Jangan diambil hati ya
Oom, sudah mengikuti kode etik kok.
And that's all my shouts for today. Hope you would enjoy reading it. Ciao!
No comments:
Post a Comment