Thursday, September 12, 2013

[Day 10 to 11] Refleksi Krisis Gentle-isasi

Gue nulis ini dalam keadaan sangat bahagia. Pertama, di dua hari terakhir ini, gue langsung dapet refleksi dari kelakuan 'cowok-cowok' di [Day 9]. Kedua, I know how it feels to be an 'in time' person. Kenapa gue bilang 'in time'? I'll explain it later, here!


[Day 10] Senin, 9 September 2013 - "A Reward for 'In Time' People"
Pagi ini adalah pertama kalinya lagi gue ngelangkahin kaki keluar rumah untuk 'menuntut ilmu disuatu institusi'. Ya institusi, tapi kali ini bukan 'sekolah' lagi, melainkan 'kampus' -- yak, berasa tua banget gue sekarang, ditambah pula sama aksen yang ada disekitar wajah (re: kumis, bukan kerutan tanda penuaan).

Sebagai pengguna jasa TransJakarta yang baru aktif sebulan terakhir, gue baru tau kalo sampe jam 7 pagi itu harga tiket TransJakarta cuma DUA RIBU RUPIAH. Sungguh, ini lebih terorganisir, tapi harganya sama aja kayak Kopaja -- instead of Kopaja's route that eases you to reach your destination, cause it may stop anywhere as if it's possible. Nah, saking noraknya (karena ini hari perdana gue naik TransJakarta pagi banget), gue foto juga tiketnya:


Perjalanannya lumayan lancar, dan gue sampe kampus pun tepat waktu, jam 8 pagi, langsung masuk kelas perdana: Matematika. Dilanjut sama Pengantar Rangkaian Listrik sampe selesai sekitar jam 12 siang. Solat dzuhur, terus gue balik deh.

Menurut gue ini adalah bentuk apresiasi terbaik yang bisa diterima oleh masyarakat yang rajin, semangat, dan etos kerjanya tinggi yang diberikan pemerintah. Bisa dibilang menguntungkan banget lah tiket yang 'diskon'-nya hampir 50% itu buat masyarakat pro-aksi anti-kemacetan di Jakarta.

Nah pas perjalanan balik ini lah, gue dapetin kisah pertama dari refleksi [Day 9] yang bener-bener bikin lelaki tulen alergi itu. Naik dari shelter Jembatan Gantung, ada sepasang Kakek-Nenek dan (entah) anak atau cucunya juga yang masuk. Berhubung kursi di bis udah terisi semua, jadilah mereka bertiga harus berdiri. Tapi gak perlu ada teguran atau sindiran, seorang laki-laki dari etnis kulit putih yang memadati seisi Bumi (mudah ditebak lah ya) langsung memberi duduk ke Kakek, yang langsung mempersilahkan lagi untuk Nenek dan si cucu duduk di pangkuannya. Tetep aja sih sang Kakek berdiri. At least, gue masih diperlihatkan kalo 'Gentle-man' itu masih ada di Jakarta. Dan si gentleman ini turun di shelter Jelambar.

Be the brightest light in the dark, don't switch your shine out by your unpleasant behavioural

[Day 11] Selasa, 10 September 2013 - "Don't (Ever) Judge a Book Its Cover!"
Hari ini gue balik lumayan malem. Sekitar 18.30 gue baru beli tiket TransJakarta. Untungnya penumpang dari shelter Jembatan Gantung lagi sepi, kalo rame, bisa jadi gue memijakkan kaki dirumah, terus langsung balik lagi untuk kuliah pagi. Oke ini lebay. #Abaikan

Garing banget perjalanan gue kali ini. Mungkin kalo lo termasuk orang yang percaya dengan kalimat "Life is never flat!", maka untuk berada di situasi gue saat ini, adalah sebuah dusta untuk mempercayainya. Sampe gue berfikir, mungkin gak bakal ada cerita yang bisa gue tulis di blog. Tapi ternyata, refleksi [Day 9] terulang kembali hari ini.

Dari shelter Harmoni, gue naik bareng seorang Kakek yang lagi gendong cucunya. But as we know, bis arah Blok M itu gak pernah lengang. Jadilah sang Kakek berdiri di lorong konektor bis gandeng sambil menggendong cucunya. Bayangkan!

Selang beberapa menit, gue noleh ke sekitar bis buat berharap ada yang sekedar nengok dan heran kenapa gue celingak-celinguk. Suddenly, there's someone who noticed and now staring at me. Gila, yang liat gue mukanya sangar gitu kayak Framly Nainggolan yang kumisnya kayak Vino Giovani Bastian di film "Serigala Terakhir". Absurd banget.

Pertama dia ngeliatin, terus gak lama kemudian, dia sat-sut-sat-sut manggil gue. Yang terbesit dibenak gue adalah, "wah muka sangar, badan gede, tapi kenapa ngeliatin gue sambil sat-sut-sat-sut kayak sekong cari brondong nih?", jadilah gue buang muka. Setelah itu, dia masih terus sautin manggil gue. Karena ngerasa ada sesuatu yang mau disampaikan, akhirnya gue noleh lagi ke dia, terus yang gue dapati adalah: dia nunjuk-nunjuk ke arah belakang gue, sambil bilang, "panggilin bapaknya dong mas, suruh dudukin tempat saya nih gantian".

Spontan gue sumringah dan langsung sumringah dan nyolek lengan Kakek yang lagi gendong cucunya -- untung dia gak kaget terus lepas dekapannya, nanti bisa dikira gue ngelakuin 'penganiayaan berencana terhadap anak dibawah umur' -- terus tunjuk ke arah tempat duduk gentleman berpakaian kaos hitam dan chino shorts itu. Yap, satu lagi perbuatan (yang menurut gue cukup) heroik yang bisa kita lakuin didalam tempat sekecil bis TransJakarta ini. Sayangnya gue gak sempat ambil foto si gentleman, tapi gue dapet snapshot dari sang Kakek dan cucunya:

Pssst! Cucu si Kakek lagi bobo.
Anyway, sesuai dengan judul diatas. Kemarin (Senin, 9 September 2013) lagi-lagi gue menilai seseorang dari penampilannya. Menurut gue manusiawi sih untuk menilai seseorang dari cara dia berpenampilan. Karena first impression seseorang terhadap orang asing lebih sering timbul setelah melihat penampilannya.

Bapak ini penampilannya mirip Abdul Gofar Hilman (@pergijauh). Rambut klimis, kacamata up-to-date, ditambah tattoo di lengan kanan. Otomatis lah keisengan gue muncul buat ambil foto beliau:

Ceming gak tuh. Necis banget!
Foto yang gue ambil setelah bis ngelewatin shelter Bunderan HI ini, didapat dengan tingkat ke-nekat-an yang tinggi. Liat buku yang tebal itu, pasti orangnya konsentrasi penuh. Kalo gue ketangkep basah ngarahin kamera ke beliau, bisa 'lewat' gue. Tapi hal yang bikin gue tercengang terjadi di shelter Dukuh Atas mengarah Pulogadung. Gue yang satu jurusan sama Bapak ini, ngeliat kalo dilengan kiri beliau, tepatnya di kemeja putihnya itu, ada badge United Nations. Pasti dia kerja disana dong. Dan disinilah gue merasa bodoh untuk menentukan kepribadian seseorang dari penampilannya.

Jadi, disinilah bagian penjabaran untuk apa yang bisa gue pelajari dari perjalanan gue dalam dua hari terakhir ini:

• Tiada kata terlambat, tapi lebih baik jika kita menjadi yang tercepat dan tertepat (in time untuk urusan waktu). Tiket TransJakarta yang lebih murah itu contoh reward bagi orang-orang yang bisa memanfaatkan dan menghargai waktu dengan baik. Gak ada salahnya kok untuk 'kecepetan' ketimbang 'kepepet'. Gak enak loh tergesa-gesa itu, gak tenang. Justru malah kalau 'kecepetan', lo bisa bersiap-siap semaksimal mungkin untuk mulai beraktifitas kan?

Don't (Ever) Judge a Book Its Cover. Really, never. Karena yang nampak tidak selalu senyata yang ada dibaliknya. Dan sekali lagi, even the thinnest paper has two sides. Siapa kira orang yang penampilannya sangar diatas itu ternyata justru lebih peduli terhadap sesama ketimbang mereka yang rapi berkemeja

And that's all my shouts for today. Ciao!



*NB: Maaf kalo belakangan ini sering nyatuin beberapa jurnal ke satu postingan. Waktu gue buat nulis seringkali gak cukup karena kepake buat kuliah dan transportnya. Maklum masih kaget sama jadwal. Thank you for reading, anyway!

2 comments:

  1. Saya laki-laki, sudah komennya di postingan (day 9), kalau postingan ini benar karena ibu hamil, lansia, gendong bayi, dan disabilitas harus diutamakan duduk (oleh penumpang laki-laki DAN perempuan yang sehat, terutama jika masih muda (bukan anak kecil juga), yg saya gak setuju justru yg day 9, gak ada yg salah dg cowok2 itu, saya bingung, emg gak ada aturan kasih duduk HANYA karena dia wanita (kecuali di RKW, dan kalau di RKW bukan duduk aja, diri di sana pun laki-laki gak boleh). Saat ini (2019) terbukti lebih banyak keluhan ttg perilaku [perempuan di angkutan umum (minta2 duduk, perempuan muda gak mau kasih duduk penumpang prioritas, dll), anda sadar gak kalau itu jg dampak dari cowok sok gentle. Gentle yg sungguh2 itu gak akan memanjakan seseorang hanya krn gendernya, ttp tau kapan menolong, kapan bertindak tegas (demi kebaikan dia juga). Kalau cewe tsb manja sebaiknya gak dikasih duduk, ini demi kebaikan dia jg. Niat terlalu baik, akhirnya bikin mental org yg dimanjain gak sehat ya sebenernya gak gentle juga. Minimal hargai perbedaan pendapat. kalau saya pribadi sih tidak akan beri duduk seseorang HANYA karena gendernya wanita, ttp ibu hamil, lansia, disabilitas, dan gendong bayi, sisanya? terserah saya dong, kalau utk case TJ, mungkin laki-laki yg keliatan kecapekan saya tawarin duduk, bkn krn wajib ttp krn saya mau. Thx.

    ReplyDelete
  2. Smg 2019, sudah ada perluasan pola pikir ya mas, kalau gentle tuh bkn indikatornya manjain cewek, dan seenaknya menghina sesama cowok (selain kakek2), bs jadi yg kasih duduk cewek itu caper, dan cowok yg gak mau kasih duduk cewek muda (bukan ibu hamil, atau gendong bayi) krn pingin mendidik masyarakat (bahwa gak semua keinginan harus terwujud dan cewek gak selemah itu). Minimal hargain beda pendapat. Thx. Gw gak menafikan cowok pun bs memanfaatkan cewek yg terlalu baik, gitu jg kebalikannya, dan dua2nya sama2 gak bener. Thx.

    ReplyDelete