Monday, October 7, 2013

[Day 14] Tolong Sabar, Lihat Dibawahmu

Hai! Wah gila kangen banget gue nge-blog lagi. Udah usang kali ya ini blog gara-gara penulisnya masih labil mood kayak anak kecil cuma karena suatu berita kecil. Sebenernya gak cuma itu, gue juga sibuk sama jadwal kuliah yang padat dari Senin sampe Sabtu. Terus juga 5 Oktober kemarin gue mini-reunion sama anak-anak Rumre; ada si pemilik rumah aka Raihan (@raihanadii7), Reza (@rahmadiwahid), Nashya (@nashyarchd) juga Nabil (@nabilramadhana) dan pacarnya, Noni (@nonskey). Sebelum mini-reuni itu gue nonton Pre-Event dari Anttic 9th: Kolestig (Kolaborasi Ekskul Tiga), yang judul pementasan dramanya adalah "Neonoise" di gedung PPHUI. Were you there?


Oke, cukup dulu soal intro super basa-basinya. Gue lagi seneng banget nih! Banyak pelajaran yang gue dan (gue harap) kita dapat ambil setelah baca pengalaman gue hari ini. Untuk mengurangi kemungkinan kalian mengalami penurunan kualitas kemampuan pengelihatan, langsung aja masuk ke cerita -- yang bakal gue mulai di perjalanan pulang, karena pas pergi gue lebih banyak bales chatting.

Naik dari Jembatan Gantung, seperti biasa, gue harus bersabar nunggu untuk mendapatkan bis yang tepat. Ya, bis yang gak terlalu ramai atau bahkan sepi dari arah Kalideres-Harmoni itu bagai wanita idaman masing-masing orang: ada, tapi lebih sering muncul dalam khayal. #Jleb

Karena udah jam 11 siang dan matahari udah mulai berangkat tugas, gue naik bis ketiga yang datang, karena sedikit lebih lengang ketimbang dua bis yang sebelumnya gue biarin lewat untuk mereka yang lebih terburu-buru. Perjalanan dari Jembatan Gantung sampe di Harmoni pun gue tempuh tanpa mendapat inspirasi apapun, paling cuma miris ngeliat orang yang dorong-dorongan untuk masuk kedalam bis, sementara gue dan penumpang lain masih berusaha keluar dari dalam sana. Jakarta ooh Jakarta.

Di shelter Harmoni, ada dua pasangan paruh baya yang keliatannya gak sering naik TransJakarta, terutama si wanita yang rewel nanyain, "Mas, kok itu bis main lewat aja sih? Gak ngangkut kita? Kan sepi!", padahal yang ditunjuk beliau ini bis kearah Lebak Bulus, bukan Blok M sesuai barisan antrean gue dan mereka berdua. Baru aja ada bis arah Blok M yang kosong, si pria yang ngeliat ada orang yang mindahin pembatas biar bisa nerobos barisan bilang, "Wah orang ini pinter juga, ayo kesana aja", dan dua pasangan gak sabaran ini berhasil menerobos barisan diikuti beberapa orang lain. Tapi, tetep aja pada akhirnya mereka masuk di bis yang gue dan beberapa orang yang mereka 'curi' tumpangin. Sekali lagi gue sukses dibuat ketawa nyinyir oleh kelakuan manusia Jakarta.

Di shelter Dukuh Atas, gue bagaikan dikasih cermin besar, dimana gue bisa liat bukti nyata betapa lemahnya generasi muda sekarang ini. Ketika kita asik naik kendaraan pribadi, bahkan mungkin disupirin, ternyata diluar sana masih banyak para lansia yang harus hidup dibawah standard dan mesti naik kendaraan umum untuk sampai tujuan. Itu masih lebih mending ketimbang mereka yang harus jalan kaki sambil bawa-bawaan berat untuk pergi ke suatu tempat. Tapi kali ini gue bener-bener terenyuh liat bapak ini:

Pernah bayangin kalo ini adalah orangtua atau kakek-nenek lo? Bersyukur ya masih diberi nikmat yang banyak. PIKIR!
Liat kan? Lo bakal lebih terenyuh dan ngerasa lemah kalo liat langsung. Beliau berjalan begitu perlahan, layaknya bayi yang baru mulai belajar berjalan. Begitu pelan dan ringkih, sementara pemuda/i dibelakangnya menyalip melewati beliau tanpa permisi karena tergesa-gesa. Miris ngeliatnya, apalagi ditambah kelakuan anak muda sekarang yang begitu gelisah ketika panas matahari bikin mereka gerah dan mulai berkeringat. Akhirnya gue jalan dibelakang beliau, takut terjadi hal yang gak terduga sebelumnya. Tapi, alhamdulillah salah seorang kru di shelter nuntun beliau dan mengantarnya langsung masuk ke bis arah Manggarai melalui pintu khusus lansia, ibu hamil, dan penyandang disabilitas.

Setelah bis tadi lanjut jalan, gue langsung baris ke belakang, hampir keatas (jembatan) karena ramainya penumpang jam 12 siang tadi. Pikir gue, "ah cepet lah ini, tadi aja udah ada yang ke arah Manggarai-Pulogadung, sebentar lagi pasti ada". Tapi, semua tinggal pengharapan, udah empat bis dan semuanya ke arah Ragunan. Ya, what you expect are sometimes the opposite of reality.

Lagi nunggu bis, kuping gue mulai nyari kerjaan: nguping. Iya, nguping. Tapi yang gue dengerin diam-diam ini justru mengarahkan gue ke perkenalan sama temen baru, bukan nguping biasa. Yang gue denger, dia nanya Jl. Muria itu dimana, dan dia harus berhenti di shelter mana ke salah seorang kru TransJakarta. Karena gue ngerasa Jl. Muria itu deket sama rumah, gue coba bantu aja dia buat sampe tempat tujuannya. Dimulailah ujian sebenarnya gue hari ini.

Kayak pertama tadi, dateng dua bis arah Pulogadung, dan udah angkut sebagian besar penumpang, sampe akhirnya gue dan orang yang lagi nyari alamat tadi berdiri dimulut pintu masuk shelter, diikuti puluhan orang yang antre dibelakang kita. Udah mikir positif bakal banyak bis arah Pulogadung lain yang dateng, ternyata justru 10 menit selanjutnya gak ada bis yang dateng sama sekali, entah ke arah Pulogadung atau Ragunan. Barisan pun makin panjang dibelakang gue, sampe ke atas jembatan Dukuh Atas.

Jam udah nunjukkin pukul satu siang, berarti udah kurang lebih satu jam gue berdiri di shelter ini. Dan selama satu jam itu gue ngerasain gimana rasanya ngehadapin harapan palsu. Kenapa harapan palsu? Karena lebih dari sepuluh bis yang dateng dalam satu jam terakhir tadi adalah ke arah Ragunan, atau bis yang nurunin penumpang karena bisnya butuh perbaikan, gak ada yang ke Halimun-Pulogadung. Ini bahkan lebih parah daripada disuruh guru Biologi pas gue SMA untuk jawab pertanyaan karena ketauan tidur, atau disuruh berdiri sepanjang sisa waktu pelajaran gara-gara bikin onar dikelas.

Tapi setiap penantian akan berakhir, dan setelah kurang lebih satu setengah jam, akhirnya gue dan temen baru gue ini dapet bis yang mengarah ke Halimun.

Sampe di Halimun, gue baru akhirnya nanya namanya, yaitu Yusuf. Pak Yusuf ini kerja di salah satu mall terkenal di daerah Pluit. Ya, benar yang itu! Pasti udah tau lah ya. Profesinya itu sales marketing, tapi untuk kali ini dia ditugasin ke PT. Cah*** Cip** Sel**** untuk ikut training, dan tepatnya gedung ini ada di Jl. Muria I. Selama perjalanan, lumayan lah gue ditraktir. Dia cerita kalau udah tiga kali bolak-balik daerah Manggarai karena alamat yang dikasih dari rekannya kurang jelas. Dan bayangin, rumahnya di Tangerang! Udah jalan dari jam 7 pagi dan sampe hampir jam 2 siang masih cari-cari alamat.

But finally, sekitar jam 2 siang lebih sedikit, ketemu juga gedungnya. Ternyata gedung itu masih baru, dan letaknya totally nearby house of mine. Setelah tukar nomor handphone, gue pun langsung jalan balik ke rumah. What a tiring day. But thankfully God, you still give me strength to help people.

Gue gak bermaksud ria atau sok-sokan, cuma kepengen aja Jakarta jadi kota besar yang terkenal ramah, bukan terkenal akan keangkuhan penduduk dan individualitasnya.

Seperti biasa, selalu ada kesimpulan yang bakal gue paparin di bagian akhir cerita:
Sabar itu mahal, dan yang bikin hal ini lebih berharga adalah ketenangan kita dalam menghadapinya. Banyak dari penumpang lain yang nunggu bareng gue mengeluh soal lambatnya pelayanan pengemudi bis arah Pulogadung-Dukuh Atas. Tapi apa yang kita tahu mengenai yang terjadi diseberang jalan? Yang bisa kita lakuin cuma sabar dan tenang. Biarpun tetep sih, harus dibenahi lagi pelayanannya demi kenyamanan dan kepercayaan penumpang untuk terus berpartisipasi dalam mengurangi kemacetan dengan menggunakan jasa transportasi publik.

Selalu melihat kebawah. Itu kalimat yang nyokap paling sering bilang sepanjang gue hidup. Lo boleh ada diatas, tapi inget peribahasa; Sehebat-hebatnya bajing melompat, pasti akan jatuh juga. Dan bahkan elang pun butuh ingat dan melihat kebawah, entah ke darat atau laut, karena ia butuh sesuatu dibawah sana, entah makananan, bahan untuk sarang, atau sekedar beristirahat setelah lama terbang. Selayaknya pun kita, para manusia. Selalu ingat untuk melihat kebawah. Karena semakin kita memperhatikan mereka yang ada dibawah kita, semakin kita tersadar bahwasanya kita hanya titik kecil yang sama berartinya dihadapan Tuhan YME.

• Kepuasan batin tersendiri ketika lo bisa nolong orang. Maka dari itu, mulai dari saat ini, kalo lo punya sedikit waktu yang bisa disisihkan untuk nolong orang yang butuh lo, sesedikit apapun kontribusi lo nantinya, lakuin aja. Sekecil atau sesederhana apapun bantuan yang lo lakuin, berarti besar demi proses peminta bantuan tersebut untuk sampai di tujuannya

Jadi, tolong lebih banyak bersabar, lihat lah masih banyak yang dibawah kita. Sekali lagi gue gak pernah ingin menggurui, karena gue pun masih kurang ajar (re: butuh lebih banyak ilmu dan ajaran). So, that's all my shouts for today! Ciao!!!


No comments:

Post a Comment